20 Oktober 2024 63 Pembaca

Bumerang Satuan Kredit Profesi Bagi Profesional Bidang Kesehatan

Foto : Ilustrasi layanan kesehatan. (Shutterstock)
Semarang - Transformasi sistem kesehatan di Indonesia telah menimbulkan berbagai dinamika dan tantangan baru. Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah penerapan Satuan Kredit Profesi (SKP) bagi tenaga kesehatan.

Pada awalnya, SKP diterapkan dengan tujuan mulia untuk memastikan tenaga kesehatan terus memperbarui pengetahuan dan keterampilannya melalui pendidikan berkelanjutan. Namun, implementasinya justru menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan.

Pada dasarnya, SKP adalah ukuran yang digunakan untuk mengakui partisipasi tenaga kesehatan dalam kegiatan yang mendukung pengembangan profesionalisme mereka. Kegiatan ini dapat berupa seminar, workshop, pelatihan, dan sejenisnya. Awalnya, penerapan SKP dilakukan dengan maksud baik, yaitu untuk memastikan bahwa dokter dan tenaga kesehatan lainnya selalu up-to-date dengan perkembangan terbaru dalam ilmu kedokteran dan teknologi kesehatan.

Pada masa lalu, seorang dokter cukup menunjukkan ijazah dari institusi pendidikan yang terakreditasi untuk membuktikan kompetensinya. Namun, dengan adanya tuntutan untuk terus memperbarui ilmu, SKP menjadi syarat untuk perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Hal ini kemudian menjadi beban tambahan bagi tenaga kesehatan, terutama mereka yang sudah lama berpraktik dan memiliki pengalaman yang cukup.

Tantangan dalam Implementasi SKP
Penerapan SKP membawa beberapa tantangan yang signifikan. Salah satu masalah utama adalah tidak adanya penjelasan komprehensif mengenai alasan di balik penentuan jumlah kredit yang harus dipenuhi. Bagi dokter atau tenaga kesehatan yang baru memulai karier, mungkin logis untuk memiliki syarat kredit tertentu untuk memastikan mereka memiliki pengetahuan yang memadai. Namun, bagi dokter yang telah berpuluh-puluh tahun berpraktik, tuntutan ini bisa dianggap tidak masuk akal.

Dokter yang sibuk dengan praktik sehari-hari sering kali tidak memiliki waktu untuk mengikuti seminar atau pelatihan tambahan. Hal ini mengakibatkan mereka kesulitan memperpanjang STR dan SIP, meskipun kompetensi mereka tidak diragukan. Bahkan, ada ironi di mana dokter yang belum bekerja bisa lebih mudah memperpanjang izin mereka hanya dengan mengikuti lebih banyak seminar dan workshop.

Dampak pada Kualitas Pelayanan Kesehatan
Penerapan SKP yang ketat tanpa memperhatikan kondisi dan situasi setiap tenaga kesehatan bisa berdampak negatif pada kualitas pelayanan kesehatan. Dokter yang sebenarnya kompeten tetapi tidak bisa memenuhi syarat SKP mungkin terpaksa berhenti berpraktik. Sebaliknya, fokus yang terlalu besar pada perolehan kredit melalui seminar bisa mengalihkan perhatian dari praktik klinis yang sebenarnya lebih penting.

Direktur rumah sakit seharusnya memiliki peran lebih besar dalam menilai kompetensi tenaga kesehatan berdasarkan praktik sehari-hari. Jika seorang dokter sudah terbukti kompeten dan berpengalaman dalam menangani pasien, penilaian langsung dari atasan atau rekan sejawat seharusnya lebih diutamakan daripada sekadar jumlah SKP yang dikumpulkan.

Reformasi yang Diperlukan
Kementerian Kesehatan perlu mempertimbangkan reformasi dalam sistem SKP untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembaruan ilmu dan kenyataan praktik di lapangan. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

Evaluasi dan Penyesuaian Jumlah SKP: Meninjau kembali jumlah SKP yang diperlukan dan mempertimbangkan pengurangan untuk tenaga kesehatan yang sudah berpengalaman.

Fleksibilitas dalam Pemenuhan SKP: Memberikan fleksibilitas dalam cara memperoleh SKP, seperti melalui penilaian langsung oleh atasan atau bukti praktik klinis.

Pengakuan Kompetensi Praktik: Memastikan bahwa kompetensi yang diperoleh melalui praktik sehari-hari diakui dan dihargai setara dengan kegiatan pendidikan formal.

Sistem Penilaian yang Komprehensif: Mengembangkan sistem penilaian yang tidak hanya berbasis pada jumlah SKP tetapi juga pada kualitas pelayanan dan kompetensi klinis yang terbukti.

Transformasi kesehatan yang dilakukan dengan penerapan SKP bagi tenaga kesehatan memiliki tujuan baik, namun implementasinya perlu disesuaikan dengan realitas di lapangan. Keseimbangan antara pembaruan ilmu dan pengakuan terhadap pengalaman praktis harus dijaga agar tidak menimbulkan beban tambahan yang tidak perlu bagi tenaga kesehatan. Dengan reformasi yang tepat, SKP bisa menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan tanpa mengorbankan profesionalisme dan kesejahteraan tenaga kesehatan itu sendiri. (*)

---

Artikel ini telah ditayangkan di website Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Sultan Agung (IKA Unissula) Semarang dengan judul "Bumerang Satuan Kredit Profesi Bagi Profesi Kesehatan".


Penulis : Joko Yuwono
Lihat Tautan :
whatsapp